Selasa, 16 September 2014

KARO DI TENGGER



Jakartapress.com – Bagi suku Tengger, Karo merupakan upacara adat terbesar untuk memperingati terciptanya alam semesta. Dalam upacara yang digelar satu bulan penuh ini mereka mengundang arwah leluhur ikut ‘berpesta’.
Tahun ini Upacara Karo digelar Warga Tengger di Desa Ngadisari, Sukapura, Kabupaten Probolinggo pada Rabu (12/10/2011). Upacara diawali ritual "tekaning ping pitu, yakni ritual untuk mengundang arwah leluhur dengan mempersembahkan sesaji di rumah warga.
Ritual lain seperti mencuci jimat warga Tengger di punden, odalan, sodoran, hiburan berupa jaran kencak atau ujung, dan akan ditutup dengan ritual mulihing ping pitu yang mengantarkan arwah leluhur kembali ke alam arwah.
Suku Tengger memiliki banyak jimat dan pusaka warisan leluhur. Jimat utama mereka sebut Jimat Klonthong. Jumlahnya  ada dua, satu disimpan masyarakat Suku Tengger Brang Wetan di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo. Bentuknya berupa kotak terbuat dari kayu.
Jimat Klonthong kedua disimpan di wilayah Brang Kulon yaitu di Desa Tosari Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan dan bentuknya seperti bumbung terbuat dari kayu.
Kedua Jimat tersebut merupakan warisan nenek moyang Suku Tengger, Joko Seger dan Roro Anteng. Di dalam kota tersebut disimpan gayung, sarak, sodar, tumbu, cepel, Ontokusumo sejenis pakaian nenek moyang, dan sejumlah uang satak (uang logam kuno). Termasuk mantra-mantra yaitu mantra Purwobumi dan mantra Mandala Giri. Pusaka lain berupa Tombak Trisula yang mempunyai ujung mata tiga.
Selama perayaan Karo, mereka yakin rumahnya akan ‘dikunjungi’ arwah lelahur. Karena tidak tahu kapan kunjungan itu terjadi, warga Tengger  tidak akan meninggalkan rumah selama upacara berlangsung. Merka takut tidak sempat ‘menjamu’ arwah lelehur yang datang.
Selama Upacara Karo ada kegiatan saling berkunjung antar warga masarakat. Hari pertama dimulai dengan kunjungan warga masyarakat desa kepada kepala desa sebagai sesepuh desa. Pada hari-hari berikutnya kepala desa berkunjung kepada seluruh warganya dan rumah ke rumah.
Dalam Upacara Karo ini pula kebersamaan warga Tengger terlihat pada tiap ritual yang dilakukan. Kebersamaan yang mereka pertahankan untuk menjaga adat sekaligus memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widi Wasa agar mereka terhindar dari bencana dan hasil pertanian melimpah.
Suku Tengger sangat menghargai hubungan antar manusia. Penghargaan itu  terwujdu dalam sesanti panca setia, yaitu setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri. Setya wacana artinya setia pada ucapan, setya semaya artinya setia pada janji, setya laksana artinya patuh dan taat dan setya mitra artinya setia kawan.
Dibanding duku lain di Indonesia, Suku Tengger sangat terbuka terhadap perkembangan dan kesediaan mereka menerima orang asing, meskipun mereka tetap pada sikap yang sesuai dengan identitasnya sebagai orang Tengger.
Upacara Karo merupakan upacara yang digelar setiap tahun pada bulan kedua menurut kalender Tengger. Menurut Trisno Sudigdho salah seorang sesepuh suku Tengger di Tosari, upacara Karo selalu dibuka dengan tari Sodor, sebuah tarian yang menggambarkan hubungan suami-istri leluhur suku Tengger hingga beranak pinak sampai sekarang.
Acara pembukaan dimulai dengan kirab Sodoran. Kemudian dimeriahkan dengan berbagai kesenian diantaranya tari Sodor, Remo dan penampilan dari kelompok Karawitan Tayub Campursari Adi Laras Tengger Ngadiwana.
Setelah pembukaan, upacara akan dilanjutkan dengan upacara Santi, Slametan Banyu, Pembukaan Jimat Klontong hingga puncaknya upacara penutupan di Wonokritri yang disebut Bawahan.
Kain Sarung
Kawasan Tengger ada di empat kabupaten, yaitu  Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam.
Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang terluas, terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo, dengan ketinggian 2392 m, dan masih aktif. Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m.
Kondisi tanah di Tengger gembur seperti pasir, namun cukup subur.  Mayoritas penduduknya sebagai petani kentang, kubis, wortel, jagung, bawang prei dan lainnya.
Masyarakat Tengger umumnya menetap secara berkelompok di bukit-bukit mendekati lahan pertanian. Sejak zaman pemerintahan Majapahit, tingkat perkembangan penduduk Tengger tergolong lambat.  Mereka dipimpin seorang Kepala Desa sekaligus Kepal Adat yang dipilih langsung. Sementara Dukun Adat diposisikan sebagai pemimpin Ritual.
Nasi Aron yang terbuat dar jagung Tengger dengan masa tanam kurang lebih 8 bulan menjadi makana khas mereka. Lauknya berupa sambal Krangean, seperti sambal terasi plus buah Krangean yang hanya tumbuh di Tengger.
Keseharian orang Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya.
Dukun Adat menjadi andalan dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan.
Kehidupan mereka sangat bersahaja. Segala masalah cukup diselesaikan oleh Kepala Desa dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tidak juga menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup ‘disatru’ alias tidak diajak bicara oleh seluruh penduduk.
Seperti daerah-daerah lain, masyarakat Tengger juga memeliki pakaian kebanggaan, pakaian itu berupa kain sarung. Cara mengenakan  sarung orang Tengger berbeda dengan daerah lain. Jika daerah lain sarung dikenakan di pinggang sebagai pengganti celana. Tetapi bagi orang Tengger, sarung dikenakan di tubuh sebagai penghangat.
Ada perbedaan cara mengenakan sarung antara pria dengan wanita. Kalau pria mengenakan sarung dengan cara memasukkan anggota badan hingga batas leher ke dalam sarung, lalu dipegang bagian depan.
Satu hal lagi orang Tengger sangat menjunjung tinggi kesetiaan. Itu sebabnya di sana hampir tidak ada kasus poligami. [ara/f]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar