Jakartapress.com – Bagi suku Tengger, Karo merupakan upacara
adat terbesar untuk memperingati terciptanya alam semesta. Dalam upacara
yang digelar satu bulan penuh ini mereka mengundang arwah leluhur ikut
‘berpesta’.
Tahun ini Upacara Karo digelar Warga Tengger di Desa Ngadisari,
Sukapura, Kabupaten Probolinggo pada Rabu (12/10/2011). Upacara diawali
ritual "tekaning ping pitu, yakni ritual untuk mengundang arwah leluhur
dengan mempersembahkan sesaji di rumah warga.
Ritual lain seperti mencuci jimat warga Tengger di punden, odalan,
sodoran, hiburan berupa jaran kencak atau ujung, dan akan ditutup dengan
ritual mulihing ping pitu yang mengantarkan arwah leluhur kembali ke
alam arwah.
Suku Tengger memiliki banyak jimat dan pusaka warisan leluhur. Jimat
utama mereka sebut Jimat Klonthong. Jumlahnya ada dua, satu disimpan
masyarakat Suku Tengger Brang Wetan di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura
Kabupaten Probolinggo. Bentuknya berupa kotak terbuat dari kayu.
Jimat Klonthong kedua disimpan di wilayah Brang Kulon yaitu di Desa
Tosari Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan dan bentuknya seperti bumbung
terbuat dari kayu.
Kedua Jimat tersebut merupakan warisan nenek moyang Suku Tengger, Joko
Seger dan Roro Anteng. Di dalam kota tersebut disimpan gayung, sarak,
sodar, tumbu, cepel, Ontokusumo sejenis pakaian nenek moyang, dan
sejumlah uang satak (uang logam kuno). Termasuk mantra-mantra yaitu
mantra Purwobumi dan mantra Mandala Giri. Pusaka lain berupa Tombak
Trisula yang mempunyai ujung mata tiga.
Selama perayaan Karo, mereka yakin rumahnya akan ‘dikunjungi’ arwah
lelahur. Karena tidak tahu kapan kunjungan itu terjadi, warga Tengger
tidak akan meninggalkan rumah selama upacara berlangsung. Merka takut
tidak sempat ‘menjamu’ arwah lelehur yang datang.
Selama Upacara Karo ada kegiatan saling berkunjung antar warga
masarakat. Hari pertama dimulai dengan kunjungan warga masyarakat desa
kepada kepala desa sebagai sesepuh desa. Pada hari-hari berikutnya
kepala desa berkunjung kepada seluruh warganya dan rumah ke rumah.
Dalam Upacara Karo ini pula kebersamaan warga Tengger terlihat pada
tiap ritual yang dilakukan. Kebersamaan yang mereka pertahankan untuk
menjaga adat sekaligus memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widi Wasa
agar mereka terhindar dari bencana dan hasil pertanian melimpah.
Suku Tengger sangat menghargai hubungan antar manusia. Penghargaan itu
terwujdu dalam sesanti panca setia, yaitu setya budaya artinya, taat,
tekun, mandiri. Setya wacana artinya setia pada ucapan, setya semaya
artinya setia pada janji, setya laksana artinya patuh dan taat dan setya
mitra artinya setia kawan.
Dibanding duku lain di Indonesia, Suku Tengger sangat terbuka terhadap
perkembangan dan kesediaan mereka menerima orang asing, meskipun mereka
tetap pada sikap yang sesuai dengan identitasnya sebagai orang Tengger.
Upacara Karo merupakan upacara yang digelar setiap tahun pada bulan
kedua menurut kalender Tengger. Menurut Trisno Sudigdho salah seorang
sesepuh suku Tengger di Tosari, upacara Karo selalu dibuka dengan tari
Sodor, sebuah tarian yang menggambarkan hubungan suami-istri leluhur
suku Tengger hingga beranak pinak sampai sekarang.
Acara pembukaan dimulai dengan kirab Sodoran. Kemudian dimeriahkan
dengan berbagai kesenian diantaranya tari Sodor, Remo dan penampilan
dari kelompok Karawitan Tayub Campursari Adi Laras Tengger Ngadiwana.
Setelah pembukaan, upacara akan dilanjutkan dengan upacara Santi,
Slametan Banyu, Pembukaan Jimat Klontong hingga puncaknya upacara
penutupan di Wonokritri yang disebut Bawahan.
Kain Sarung
Kawasan Tengger ada di empat kabupaten, yaitu Probolinggo, Pasuruan,
Malang dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan
tebing-tebing yang curam.
Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang terluas, terletak pada
ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo, dengan
ketinggian 2392 m, dan masih aktif. Di sebelah selatan menjulang puncak
Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m.
Kondisi tanah di Tengger gembur seperti pasir, namun cukup subur.
Mayoritas penduduknya sebagai petani kentang, kubis, wortel, jagung,
bawang prei dan lainnya.
Masyarakat Tengger umumnya menetap secara berkelompok di bukit-bukit
mendekati lahan pertanian. Sejak zaman pemerintahan Majapahit, tingkat
perkembangan penduduk Tengger tergolong lambat. Mereka dipimpin seorang
Kepala Desa sekaligus Kepal Adat yang dipilih langsung. Sementara Dukun
Adat diposisikan sebagai pemimpin Ritual.
Nasi Aron yang terbuat dar jagung Tengger dengan masa tanam kurang
lebih 8 bulan menjadi makana khas mereka. Lauknya berupa sambal
Krangean, seperti sambal terasi plus buah Krangean yang hanya tumbuh di
Tengger.
Keseharian orang Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan
penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan
memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya.
Dukun Adat menjadi andalan dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai
perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai
tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah
kehidupan.
Kehidupan mereka sangat bersahaja. Segala masalah cukup diselesaikan
oleh Kepala Desa dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tidak juga
menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup ‘disatru’ alias tidak
diajak bicara oleh seluruh penduduk.
Seperti daerah-daerah lain, masyarakat Tengger juga memeliki pakaian
kebanggaan, pakaian itu berupa kain sarung. Cara mengenakan sarung
orang Tengger berbeda dengan daerah lain. Jika daerah lain sarung
dikenakan di pinggang sebagai pengganti celana. Tetapi bagi orang
Tengger, sarung dikenakan di tubuh sebagai penghangat.
Ada perbedaan cara mengenakan sarung antara pria dengan wanita. Kalau
pria mengenakan sarung dengan cara memasukkan anggota badan hingga batas
leher ke dalam sarung, lalu dipegang bagian depan.
Satu hal lagi orang Tengger sangat menjunjung tinggi kesetiaan. Itu sebabnya di sana hampir tidak ada kasus poligami. [ara/f]